Aku mau yang ganteng, tinggi, mapan, pekerja keras, tabungannya besar, punya rumah pribadi, mobil pribadi, rajin ke gereja, taat sama Tuhan, pengusaha dan endebreh endebreh endebrehGitulah kalo masih muda. Saat saya sendiri masih kebanyakan maunya. Mau laki-laki yang sempurna dan bisa bikin iri seluruh wanita di jagat raya ini. Pokoknya maunya yang sempurna dan merasa bahwa kesempurnaan itu nggak akan pernah buat saya menyesal seumur hidup. Jadi kudu wajib dan harus yang terbaaeeeekkk.
Itu dulu...
Saat saya masih belia. Saat percaya akan mitos soulmate. Saat percaya bahwa hidup adalah cinta dan cinta adalah hidup. Saat mimpi masih setinggi langit dan belum kenal akan kerasnya kehidupan. Belum kenal akan kejamnya mertua yang memang tidak pernah menyetujui sebuah hubungan, belum kenal akan kejinya tuntutan hidup dan belum tau kalau perbedaan visi misi bisa membuat kita jengkel sampai akhir hayat.
Belum.
Sampai suatu saat, saya ngobrol sama senior dikantor, saat itu saya sedang proses #menujuhalal
Satu sih mbak yang saya takutkan. Takut kalau suami kelak nggak bisa memenuhi permintaan saya. Kan kebiasaan sama orang tua, apapun dipenuhi, dituruti. Takutnya nanti suami nggak bisa berusaha seperti apa yang orang tua usahakan terhadap saya. Saya juga takut apakah hidup saya bakal mulus aja? Gimana nanti kehidupan finansial? Bisa nggak ya dia menghidupi keluarga kecil kami kelak?Beliau pun menjawab
"Jeng, laki-laki itu juga manusia. Mereka bukan dewa", ucapnya sampil tersenyum.saya langsung,
NYEEEEEESSSSSSSSS
Seketika langsung buyar mimpi saya terhadap laki-laki mapan, punya rumah, punya mobil, ganteng, menuruti apa mau saya bak sinterklas dan lain sebagainya.
Dalam hati, "shit... bener juga"
Dari sanalah saya mulai mencoba ikhlas. Ikhlas bahwa pasangan saya juga manusia, bukannya Pangeran dari negeri dongeng dan bukan sinterklas yang bisa memberikan apa yang saya inginkan atau bahkan jin dari iklan rokok yang akan mengabulkan tiga permintaan saya. Bukan, Dia juga manusia, bahkan saya juga hanyalah manusia. Yang mungkin tidak sesempurna yang ia inginkan, namun bisa saja yang terbaik dari yang terburuk (ya daripada jomblo, nggak gitu kan beib?)
Hari itu, saya bawa namanya dalam doa. Saya minta kepada Tuhan, jika memang dia yang terbaik buat saya, maka jadikanlah baik. Namun jika bukan dia, mungkin Tuhan bisa bantu untuk menjadikannya baik. Gitu yah? :)
Iya.
Kadang, kita terlalu dipusingkan oleh segala persyaratan ataupun kriteria yang sebenarnya diluar batas kemampuan manusia. Yakali ada manusia sempurna banget, kalaupun ada, emang doi mau sama elu?
Kadang kita terlalu membatasi ruang gerak kita sendiri. Membatasi ke-ikhlasan, kesadaran, logika dan perasaan untuk bisa menerima bahwa pernikahan bukanlah mencari yang terbaik, melainkan sama-sama menjadikan pasangan kita yang terbaik. Saking kepengen yang sempurna, akhirnya kita selalu terus mencari dan mengabaikan yang kita miliki. Selalu merasa kurang sempurna dan nggak sesuai seperti yang diingini. Kemudian muncullah rasa galau, gelisah dan risau. Is he the one?
Jangan memunculkan pertanyaan is he the one, tapi jadikanlah he is the one.
Comments