Skip to main content

Pernikahan?


Setiap kita pasti penasaran, dengan siapakah kelak akan menghabiskan masa tua bersama? Siapa yang akan menjadi teman dalam menghadapi suka dan duka di sisa usia. Dari zaman dulu hingga kini, pernikahan seringkali dianggap sebagai sebuah solusi dari masalah. Malas kuliah? Nikah. Malas kerja? Nikah. Malas skripsi? Nikah. Punya utang? Nikah. Emangnya laki-laki itu porter? Yang tugasnya memikul bebanmu?

Bukan

Menurut saya, pernikahan bukanlah pelimpahan beban hidup, melainkan sebenarnya adalah sharing beban. Beban mu dan bebannya menjadi satu, dihadapi oleh dua kepala, makanya orang bijak bilang, masalah kalau dihadapi oleh dua kepala pasti akan ringan. Tapi, apakah perempuan selemah itu hingga kita butuh laki-laki untuk menyelesaikan masalah? Apakah perempuan se-penakut itu sehingga menghindari masalah yang ia buat sendiri? Kita tumbuh dengan hak dan kewajiban yang sama. Kita sekolah, beribadah, kerja dan bayar pajak yang sama. Tapi kenapa kita menolak untuk memiliki beban yang sama? #tsailah.

Paragraf diatas adalah mungkin berasal dari pemikiran seorang feminist.

Kemudian

Kalau ditinjau dari segi perempuan yang hakiki dan sesuai kodrat adalah menikah merupakan ibadah, menikah untuk melanjutkan keturunan, menjalankan kodrat sebagai seorang wanita dan laki-laki dewasa dan menikah menyelamatkan manusia dari ketakutan untuk hidup seorang diri selama sisa hidupnya.  Ditinjau dari fakta yang terjadi di lapangan, pernikahan adalah sebuah hubunagn yang mana perempuan memindahkan beban finansial kepada suami, sementara perempuan menyandang beban moral terbesar dalam keluarga. Karena perempuan membesarkan anak-anak dan menjaga potret keluarga dalam masyarakat. Tanpa kita sadari, pun disana terjadi pembagian beban seperti yang saya sebutkan diatas tadi. Jadi sebenarnya, kita, wanita, hanya fokus kepada satu masalah tanpa memperhatikan masalah lain yang akan datang. Memang benar kita terlepas dari perkara finansial, karena kini sudah menjadi tanggung jawab suami. Tapi bagaimana dengan masalah yang akan datang selanjutnya? Apakah kita memikirkannya? Apakah benar pernikahan menyelesaikan masalah? Jika masalah lain datang, apakah kita harus mencari orang lain lagi untuk menanggung beban baru ini? Nggak kan? Pada intinya saya cuma mau bilang, kalau pernikahan tidak menyelesaikan masalah apapun. Sebagai manapun bentuk masalahmu. Pernikahan bukan sebuah solusi, pernikahan adalah sebuah tradisi.

#JEDER

Comments

Bagi saya, Pernikahan adalah sebuah ibadah untuk menyempurnakan agama :)

Popular posts from this blog

Is He The One?

Aku mau yang ganteng, tinggi, mapan, pekerja keras, tabungannya besar, punya rumah pribadi, mobil pribadi, rajin ke gereja, taat sama Tuhan, pengusaha dan endebreh endebreh endebreh Gitulah kalo masih muda. Saat saya sendiri masih kebanyakan maunya. Mau laki-laki yang sempurna dan bisa bikin iri seluruh wanita di jagat raya ini. Pokoknya maunya yang sempurna dan merasa bahwa kesempurnaan itu nggak akan pernah buat saya menyesal seumur hidup. Jadi kudu wajib dan harus yang terbaaeeeekkk. Itu dulu... Saat saya masih belia. Saat percaya akan mitos soulmate . Saat percaya bahwa hidup adalah cinta dan cinta adalah hidup. Saat mimpi masih setinggi langit dan belum kenal akan kerasnya kehidupan. Belum kenal akan kejamnya mertua yang memang tidak pernah menyetujui sebuah hubungan, belum kenal akan kejinya tuntutan hidup dan belum tau kalau perbedaan visi misi bisa membuat kita jengkel sampai akhir hayat. Belum. Sampai suatu saat, saya ngobrol sama senior dikantor, saat itu saya seda...

Tuhan Tidak Pernah Bimbang, Selalu Imbang

Aku tersentuh, Tertohok akan kalimat yang di ucapkan Lia... Tentang risau yang menggelora, tentang pilihan yang sulit dipilih, tentang rasa yang sulit dipisahkan dan tentang air mata yang tak terbendung (lagi). Gelisah, kecewa dan cucuran air mata, siapa yang siap untuk merasakannya? Patah hati yang dalam hingga ke relung jiwa, bukan mudah untuk melupakan, atau bahkan hanya menyingkirkan. Bukan mudah untuk selalu perhatian tanpa mendapatkan kepastian. Bukan mudah untuk melupakan bersamaan dengan merelakan. Bukan mudah, sungguh dibuatnya tidak menjadi mudah. Sakit. Semoga tidak menjadi penyakit, biarlah hatinya melekit asal tidak menjangkit.   Pedih. Sudah pasti. Tapi coba kau tanyakan benar dalam hati, apakah ia laki-laki yang pantas untuk kau tangisi? Atau sebenarnya hanya untuk amunisi menguatkan hati untuk hal yang lebih peri? Aku pernah sakit hati, bukan karna ditinggal pergi, tapi karna tidak lagi dipercayai. Jangan tertawa. Andai aku bisa perg...